Saturday, September 12, 2009

Anger (Management)

Posted by Icha at 7:16 PM
Dua hari ini saya marah.

Saya marah karena adik tingkat yang (menurut saya) rese.
Saya marah karena (merasa) Papa ngga nepatin janjinya sama saya.
Saya marah karena (merasa) para sepupu ngga mau memaklumi tanggal mudik saya yang mepet gara-gara masih ada kuliah.
Saya marah karena kangen dengan seseorang, tapi ngga bisa berbuat apa-apa untuk mengekspresikan rasa kangen itu.
Saya marah karena Mama nelpon saya dan ngajak ngobrol tentang tanggal mudik di saat yang ngga tepat, saat saya sedang marah.
Saya marah karena seluruh dunia seolah nyuekin saya. Felt like being ignored.

Kemarin, teman-teman saya juga marah.

Mereka marah karena adik tingkat yang (menurut mereka) ngga tau diri.
Mereka marah karena event besar yang sudah direncanakan sejak lama (rasanya) dihancurkan begitu saja.
Mereka marah karena 'atasan' yang (menurut mereka) sewenang-wenang dan plin-plan.
Mereka marah karena seluruh dunia seolah ngga berpihak pada mereka.

Pun, kemarin para 'atasan' juga marah.

Mereka marah karena mereka (merasa) dilangkahi.
Mereka marah karena (menurut mereka) event yang tengah digarap ngga ada manfaatnya.
Mereka marah karena (menurut mereka) kami keras kepala.
Mereka marah karena seluruh dunia seolah ngga sejalan dengan mereka.

Kami marah karena seluruh dunia seolah ngga mau nurut sama kami.

Bukan masalah kalau kita marah.
Bukan masalah karena marah adalah ekspresi yang wajar ketika hidup ngga sesuai harapan dan keinginan.
Kemarahan bukanlah masalah.

Masalahnya adalah bagaimana kita mengekspresikan kemarahan.
Apakah teriak-teriak ngga jelas?
Apakah marah pada orang yang tepat?
Atau malah marah-marah sendiri, teriak-teriak sendiri, padahal objeknya ngga ada di situ?
Apakah marah dengan style destruktif? Membanting pintu? Melempar barang?
Apakah marah dengan menyakiti orang? Main tonjok? Main pukul?
Apakah marah dengan otak? Negosisasi? Bicara baik-baik?
Apakah kemarahan itu terlampiaskan dengan benar?
Ataukah sebaliknya? Terpendam dan tak terucapkan?

Yang mana aja boleh. Yang manapun tergantung kita. Tapi seharusnya dalam keadaan marah pun kepala tetap dingin. Berpikir, yang mana style paling baik yang akan kita pilih saat marah. Kita marah karena ingin sasaran tau isi hati dan mau kita. Kita marah karena ingin sebuah kompromi, sebuah pemakluman. Kita marah bukan bertujuan melukai orang, menyakiti hati orang. Kita marah bukan mau ngancurin rumah.

Mungkin juga kita belum clear marah sama siapa. Bisa jadi kemarahan yang rasanya ngga habis-habis adalah tanda bahwa sebenarnya kita marah pada diri sendiri. Dan kalau itu terjadi dan kita sadar, ngga ada cara lain untuk mengatasinya selain mengompromikan diri sendiri dengan keadaan. Bicara dengan diri sendiri, memberi pemakluman pada diri sendiri.

Dan yang lebih penting, marah pada objek secara tepat. Menurut saya aneh banget kita marah-marah atau ngga setuju sama seseorang dengan cara teriak-teriak, maki-maki tapi ngga di depan orangnya langsung. Demo di depan kantor walikota, padahal walikotanya ngga ada. Atau marah-marah dengan nulis status di facebook, padahal yang mau kita damprat belum tentu baca. Jujur, saya kadang juga ngelakuin itu, apalagi saat kemarahan saya ngga tertahan. Tapi kejadian dua hari yang lalu bikin saya sadar. Marah-marah kaya gitu keliatan bodoh banget. Dan sejujurnya saya pribadi pengen menghilangkan kebiasaan itu.

Karena itu juga saya jadi ingat perkataan seseorang di message Friendster saya 2 tahun yang lalu.

"Lo kalo mau marah langsung ke gw aja. Jangan dilampiasin ke orang laen!!"

Kadang saya juga mikir, saat marah mending langsung curhat aja. Sama Mama, sobat, atau diary. Kaya kata Tibby di The Sisterhood of The Traveling Pants.

"Well, maybe sometimes it's easier to be mad at the people you trust."

Cara yang lebih ampuh? Wudhu terus sholat. Selanjutnya ikhlasin semua ama Yang Di Atas.

Ready for the anger management?

0 comments:

 

Confessions of A Not-It Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea