Dari 22 misi bulan Februari, saya baru mencoret 2.
Kacau. Setres. Bisa gila.
Iya, cuma 3 kata itu yang bisa mendeskripsikan kondisi lahir batin jiwa raga saya sejak 1 Januari 2012. Saya udah kaya orang hilang akal. Di luar kalem, di dalem desek-desekan kaya para ELF yang mau nonton konser SuJu. Saking desek-desekannya saya sampe ngga bisa ngeblog, nulis diary macet, yang saya kerjain cuma... Berjuang menjalankan misi.
Satu sepertiga bulan pertama di tahun 2012 saya lewati dengan... Gimana ya ngegambarinnya? Jalan engga, tapi lari juga engga. Desember 2011 saya masih mengamati keadaan. Masih diam di tempat dengan mata jelalatan. Cukup sekali saya kena strike karena ceroboh, jangan sampe kejeblos lagi. Januari saya pasang ancang-ancang. Mulai jalan sambil tetep liat kanan kiri. Sumpah, saya kepengeeeennnnn banget lari. Tapi apa daya, meski rute udah jelas, kondisi jalan sama sekali ngga terprediksi. Apa yang saya denger, info yang saya liat, versi A, B, C, D bisa beda-beda. Dan sejujurnya saya ngga tau harus mempercayai yang mana.
Bulan Februari, masih dalam kondisi ngawang-awang, bures, burem, blawur, saya nyoba jalan agak kenceng. Saya mulai mengeksekusi misi-misi yang saya canangkan sejak beberapa bulan yang lalu. Pokoknya saya ngga boleh stuck. Tapi karena keblawuran itu, saya jadi jalan berdasarkan insting. Bener juga, ketika konsentrasi kita terpecah atau segala sesuatunya ngga jelas, asalkan punya niat dan tujuan yang pasti, badanlah yang mengambil alih. Walau saya ngga tau gimana hasil akhirnya, saya tetep mencoba jalan. Sedikit-sedikit.
Ya, sedikit-sedikit. Kata itu terasa absurd banget buat saya. Saya serasa jalan dari Solo ke Bogor naik bis omprengan yang jalannya 10 km/jam. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh 10 jam jadi molor dua kali lipatnya. Kebayang kan betapa sakit dan bengep-bengepnya badan saya?
Ketika rasa sakit, encok, dan punggung patah-patah itu melanda, saya cuma bisa bilang ke diri sendiri: inilah yang namanya perjuangan. Tapi itupun ngga bisa meredam logika otak kiri yang terus-terusan berdentam-dentam membuat asumsi.
Analogi jalan dari Solo ke Bogor itu sampah!! Dalam kasus itu lo tau cepat atau lambat lo akan sampai di rumah, tapi yang INI?? Lo bahkan ngga tau lo akan sampai di mana.
Hampir tiap hari teriakan itu memenuhi kepala saya. Dan saya bisa berjam-jam setres memikirkannya.
Ketika orang-orang sibuk berkata "Yang penting proses, bukan hasilnya", saya tau itu kebohongan publik. Kalo kita melamar kerja, apakah yang dinilai para interviewer itu susah payah kita berjalan menembus kemacetan kota hanya untuk memasukkan lamaran? Apakah yang dinilai persiapan kita dalam psikotes dan interview? Engga!! Yang dinilai adalah angka hasil tes kita. Nilai nyata yang tertera di atas kertas. Kalimat itu di telinga saya ngga lebih dari sekedar penghiburan pribadi. Excuse untuk menetralkan perasaan sendiri.
Tapi saya tau seperti inilah bentuk perjuangan. Proses penting bagi saya, tapi hasil dari proses itu penting bagi perwujudan mimpi saya. Dan hasil yang didapat akan setimpal dengan perjuangannya, prosesnya. Itu saya sangat percaya. Jadi kalo kita gagal, pasti ada yang salah dalam prosesnya. Kitalah yang menilai proses itu, bukan orang lain. Jadi ngga masalah kalo kita memberi angka merah pada proses yang kita lalui itu. Saya pun menyadari, ada yang salah dalam proses 'menjalankan misi' saya selama ini. Saya masih harus banyak belajar, harus banyak melihat dan mendengar. Mengurangi kekeraskepalaan. Itulah yang membuat perjalanan ini terasa gila.
Saya sudah berjalan sejauh ini. Dan makin jauh jalannya, makin lama saya menghabiskan waktu di perjalanan, punggung saya mulai terasa patah-patah. Padahal kalau dipikir belum jauh juga, tapi faktor-faktor XYZ yang ngga bisa saya prediksi membuat perjalanan terasa lama. Di sisi lain, faktanya ngga ada yang instan di dunia ini. Semuanya harus ditempuh sesenti demi sesenti. Selalu ada harga yang harus dibayar. Dan saya anggap semua keruwetan ini adalah harga yang harus saya bayar di muka. Semacam investasi tanpa jaminan. #ngenes
Tapi apapun itu, apapun yang terjadi, saya memilih untuk tetap berjalan. Untuk saat ini, itu cukup.
0 comments:
Post a Comment