Doa sebelum mulai posting: Semogaaaa yang baca ndak keburu irritated baca judul postingan saya kali ini :D
Kalau mau cerita tentang saya dan belajar, sepertinya harus ada adegan flashback ke 18 tahun yang lalu, saat saya masuk kelas 1 SD. Jaman TK kan saya ndak pernah belajar. Hahaha... Mulai masuk SD barulah siksaan tujuh huruf itu dimulai.
Siksaan? Hmm... Let's see. Selama SD, yup, selama 6 tahun, saya benar-benar dikerasi soal belajar. Mamah sama Papah kompak menerapkan disiplin yang luar biasa. Jam 7 sampai jam 9 malam wajib duduk di depan meja belajar. Televisi di ruang keluarga mati. Saya wajib duduk mengerjakan soal-soal mata pelajaran keesokan hari di sekolah. Satu poin lagi, malam hari tidak ada mengerjakan PR. PR sudah harus dikerjakan sepulang sekolah. Selama 6 tahun begitu. Kebayang kan, setresnya kaya apa? Tapi terbayar sih semua kerja keras itu, selama 6 tahun saya ndak pernah terdepak dari 3 besar di kelas. Lumayan, ndak bikin orang tua malu tiap ambil rapot :p
Beranjak ke jaman SMP, yang terjadi justru kebalikannya. Saya sama sekali ndak pernah belajar. Sama sekali. Tiap hari kerjaan cuma ngurusin cowok, nonton tipi, nggosip ama temen-temen dan sepupu-sepupu. Ketebak, track record saya waktu SMP jelek sekali. Pelajaran makin susah, sayanya ndak pernah belajar, makin ndak ngerti. Untung waktu mau ujian nasional saya insaf. Ikut bimbel dan mulai rajin belajar. Alhamdulillah bisa lulus juga dari SMP.
SMA, bisa dibilang ini turning point. Yup, hanya karena mamah bilang,"Mba, udah SMA lho. Habis ini kan mau kuliah. Kalau mau kuliah di universitas yang bagus, nilaimu harus bagus dari sekarang". Yak, langsung tobat, insaf yang sebenar-benarnya. Jadi sregep setengah mati. Apalagi di SMA dulu saya dianggap remeh karena pindahan dari kota kecil. Saya ndak bales ejekan-ejekan itu, cukup waktu ujian nilai saya paling tinggi. Bungkamlah mereka semua. Apalagi waktu kelas dua SMA, datanglah seseorang yang kemudian jadi rival sejati saya di sekolah. Ditaro sekelas pula, jadilah makin semangat. Buat orang yang 'panasan' (baca: berjiwa kompetitif tingkat dewa. #tsaaaahh) kaya saya, dapet sparing partner dengan kemampuan yang sama (sama-sama panasan, sama-sama susah kalah) itu rasanya menyenangkan sekali. Kaya punya alasan tambahan untuk mengejar nilai bagus :))
Waktu S1, saya masih jadi anak rajin, tapi berbeda dengan semasa pake seragam, saya sudah bisa menentukan irama belajar sendiri. Apalagi ada kewajiban praktikum, pretest, responsi, tugas, organisasi, dan sebagainya. Belajar segala gaya rasanya jadi bisa. Semakin tambah semester, semakin tau diri ini sukanya apa, minatnya ke mana. Mata kuliah lingkungan, dapet B sudah di luar ekspektasi, mata kuliah tumbuhan sama mikrobia diusahain nilainya bagus biar transkripnya bagus, tapi kalau mata kuliah hewan, ndak ada ampun harus dapet A!!
Sampai lulus S1, saya merasa udah nyaman sama definisi 'belajar' saya selama ini. Tapi semua itu terpatahkan ketika saya masuk S2. Bukan ketika masuk sebenarnya, tapi ketika saya ketemu orang yang sekarang jadi pacar saya.
Urusan otak, seisi dunia tau betapa jauh beda level saya sama Mas Radif. Sampai detik ini ndak keitung berapa kali saya minta diajarin sama dia, mulai dari rentetan reaksi senyawa-senyawa di BMS sampai mekanisme transcription factor di genetika molekular. Mulai dari minta dijelasin metode di jurnal yang ruwet sampai bikin presentasi yang enak diliat. Pokoknya urusan belajar, saya jadi semacam Aihara Kotoko di Itazura na Kiss, terbirit-birit mulu ke pacar. Efeknya keliatan sih, saya sedikit demi sedikit terlepas dari jeratan kebodohan. Hahaha... Tapi di sisi lain, selain bangga dan seneng, ndak keitung juga berapa kali saya serasa bengep digampar sendal jepit.
Menemukan orang seperti Mas Radif membuat saya berpikir, dari SD sampai S1 saya ini belajar untuk apa. Saya selama ini belajar, tapi saya tidak pernah benar-benar mencintai apa yang saya pelajari. Saya belajar hanya untuk memuaskan ekspektasi orang-orang di sekitar saya: untuk mereka yang mau melihat rapot saya bagus, menggembar-gemborkan saya rangking satu, mereka yang ingin pamer kalau anggota keluarga mereka lulus cum laude. Efeknya, saya hanya mempelajari apa yang ada di depan mata karena hanya itu yang saya anggap penting. Saya jadi tidak terbuka pada ilmu-ilmu lain, dan yang lebih parah, saya ndak tau apa yang benar-benar saya suka dan inginkan. Damn, seketika saat saya menyadari itu, saya merasa jijik pada diri sendiri. Serius.
Lalu saya melihat Mas Radif, someone so close yet so different from me. Dia permah bilang, dia suka belajar karena bagi dia ilmu itu sebuah investasi. Saya ndak bisa ndak setuju. Bagaimanapun juga, orang yang pengetahuannya makin luas akan makin bisa berbaur di dunia yang tidak sempit dan dangkal ini. Dia belajar karena haus ilmu, karena takut tergilas, tertinggal oleh akselerasi dunia. Itulah kenapa dia tertarik pada banyak hal, belajar banyak hal, lalu menguasai banyak hal. Broad and deep. Lalu saya melihat diri sendiri dan menemukan seekor katak dalam tempurung. Masa titel saya sarjana biologi tapi dia lebih banyak tau soal biologi dibanding saya. Ya ampun, maluuuuuuu banget. Belum lagi liat pencapaiannya yang keren-keren, hasil belajarnya selama ini. Duh, saya ini baru sampai di level mana?
Fortunately, dia bukan seseorang yang punya ilmu tapi dipek dhewe, disimpen sendiri. Ndak pernah sekalipun menolak permintaan saya untuk online messenger semalam sebelum ujian supaya bisa belajar bareng dan nanya-nanya, mau jelasin jurnal seruwet apapun ke saya, dan ngasih saya banyak bacaan bagus. Barusan dia ngasih saya link open course dan whoaaaaaaaaaa... Keren-keren!! Jadi kepengen belajar lagi, belajar biologi lagi karena ternyata banyak hal yang belum saya kuasai waktu S1 dulu :D
Setiap melihat dia, saya otomatis mengingatkan diri untuk mencintai belajar, mencintai apa yang saya pelajari. Dan pastinya ngurangin males. Meski yang ini agak sulit. Hehehe... Dia mengajarkan pada saya bahwa belajar bukan untuk menyenangkan siapa-siapa kecuali diri sendiri. Bukan juga untuk dapat predikat 'dengan pujian'. Ilmu itu investasi, yang ditabung untuk nantinya diajarkan. Pada siapa? Ya yang dekat-dekat dulu, keluarga, anak cucu, lingkungan.
Well, I don't know how far I've already improved myself. Saya cuma mau jadi Icha yang sedikit lebih tidak cupet. Sesederhana itu kok. Itu juga yang jadi resolusi saya tahun 2014 ini. Berbuhung ini postingan pertama di 2014, saya mengucapkan selamat tahun baru, semuanyaaaa. Minna akemashite omedetou. Kotoshi mo yoroshiku onegaishimasu!! ^_^